Senin, 09 Maret 2009

pandangan kesenian

Pandangan Kesenian,
cengkareng,9maret2009
Ketika berbicara mengenai interpelasi terutama mempertanyakan perkembangan seni rupa dunia maupun tentang pandangan terhadap paham-paham yang lumrah didunia seni rupa, maka kita akan menjumpai begitu banyak pertanyaan-pertanyaan mendasar membuat kita semakin ingin terus dan terus bertanya yang pada akhirnya hilang begitu saja, mengapa demikian hal ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran akan pentingnya seni dalam hal ini seni rupa sebagai bagian intergral dari kemajuan suatu masyarakat, di samping itu juga pandangan kaum bermodal ( kolektor ) yang tidak fair dalam menyikapi perkembangan seni rupa, yang semata- mata atas pertimbangan keuntungan belaka artinya kolektor hanya mencari karya seni yang laku dijual lagi dengan harga lebih mahal sedangkan senimannya hanya mendapatkan sepersekian dari karyanya.
begitu juga sikap para senimannya pula yang sering tidak sadar (kayanya sih sadar) kalo dirinya itu didikte oleh kaum bermodal maupun oleh lingkungannya (pasar), ketika masih belum begitu terkenal selalu gonta-ganti gaya dan aliran (inofative) namun ketika sudah terkenal dengan satu gaya dan terserap oleh kolektor maupun pasar mulai deh, sedikit takut untuk gonta-ganti gaya karena takut ditinggal oleh kolektor karena tidak punya ciri Khas(?) atau selalu mengikuti pasar biar tidak ketinggalan gaya dengan harapan dibeli oleh kolektor, jadi motifasinya hanya semata semata-mata hanya bangaimana bisa laku bukan oleh kesadaran bahwa karya seni itu merupakan suatu karya yang tidak harus ikut tren gaya yang sedang berlaku dan karya seni itu adalah suatu pandangan jauh kedepan melewati batas-batas ruang dan waktu jadi tidak dibatasi oleh kepentingan kolektor,pasar,maupun pemerintah yang sedang berkuasa.
Sikap pemerintah pun juga membuat saya pribadi bertanya-tanya mengapa pendidikan seni rupa di Indonesia untuk sekolah –sekolah hanya menjadi ekstra bukan menjadi pelajaran pokok kalau pun menjadi pokok porsinya sangat minim dan materi pengajarannya banyak yang ngaco, belum lagi sikap pemerintah yang mengait-ngaitkan seni dengan masalah-masalah politik sampai-sampai senimannya tidak boleh mengekspresikan karya-karya nya , senimannya dipenjara dan karyanya dirusak dan lebih parah lagi tidak diakui sebagai manusia yang punya hak asasi untuk berkarya.
Hal ini secara langsung maupun tidak mempengaruhi pandangan masyarakat umum untuk mendapatkan wacana seni rupa yang berimbang, belum apa-apa sudah dicap “ ah, ini porno grafi”, “ah, ini SARA”, “ah, ini tidak sesuai dengan kaidah seni anu”, “ah, ini gak boleh, yang ini boleh”, artinya wacana seni rupa hanya dipandang sebelah mata tanpa dilihat sisi yang lain maupun konteksnya, oleh banyak kalangan umum di Indonesia maupun di negara lain.
Seperti yang saya katakan semakin kita bertanya semakin kita jumpai pertanyaan baru, namun itu akan menjadi lebih berarti bila interpelasi itu tidak dibungkam oleh apapun juga tidak menguap begitu saja tanpa ada hasil yang dapat kita petik untuk suatu pembelajaran dari perkembangan seni rupa, artinya ada suatu sikap yang kreatif dan fair dalam memandang seni rupa sebab sesuatu yang lumrah sekali-kali boleh dilanggar sebagai suatu sikap kemajuan .
karya seni bagi saya adalah suatu pandangan jauh kedepan melewati batas-batas ruang dan waktu tanpa harus mengikuti arus trend gaya yang sedang in saat ini artinya saya tidak takut dicap seperti si anu, atau karya saya tidak laku dan tidak ada yang mengkoleksi atau pun tidak pernah menang lomba seni anu, yang penting bagi saya bahwa karya-karya itu bebas dari dogma-dogma apapun,dan paling tidak menyuarakan kepekaan saya sebagai manusia. Saya tidak terpaku pada tema tertentu maupun gaya tertentu apa yang saya rasakan itulah yang saya ingin sampaikan dalam karya , pada pengolahan bentuk saya cenderung untuk mengganggab bahwa bentuk yang meruang adalah bentuk yang” ideal” dan mempunyai ekspresi yang sensual sebagai bentuk, sebab itu merupakan suatu tantangan yang harus dihadapi dalam proses kreatif pengolahan bentuk “ideal” dan mempunyai makna yang luas.
Dalam cp open biennele 2003 saya mengusulkan karya saya yang pernah dibuat dan dipresentasikan di blok M mall dalam rangka Site Specific Project, Seni Lingkungan Jakart@2001 Jakarta HabitusPublic, 1-30 2001, yang berjudul “Bola-Bola Teror” konsep dari karya ini adalah bagai mana mengajak masyarakat (komunitas di pertokoan Blok M mall) pedagang maupun pembeli di pertokoan Blok M mall untuk berinteraksi dengan karya saya yang berupa bola bambu berdiameter 2m didalam bola bambu itu ada figur yang ekspresif sebagai simbol bentuk korban dari teror.
pada bola bambu maupun pada figur saya tempelkan berita-berita kecelakaan maupun kejadian teror yang waktu itu sudah mulai banyak meneror masyarakat baik berupa teror bomb maupun teror-teror yang disebabkan oleh ketakutan masyarakat pada suatu kejadian seperti bencana alam ,kecelakaan dan lain-lain, saya berpikir bahwa suatu saat teror akan mencapai klimaks nya dan akan mengenai siapapun dari negara manapun, pelakunya pun bisa siapa saja entah pemerintah kepada rakyatnya atau orang tua kepada anaknya, teror-pun bisa menjadi serius bisa juga main-main, teror akan terjadi karena perbedaan kepentingan dan diselesaikan dengan cara pemaksaan kehendak tanpa peduli orang lain hingga korban berjatuhan, teror pun dijadikan suatu yang lumrah oleh masyarakat dalam mencapai suatu tujuan.
Bola-bola teror saya presentasikan pada saat itu Blok M mall sedang ramai-ramainya sehingga tujuan saya untuk mengintimidasi(meneror) komunitas pedagang maupun pengunjung terganggu tercapai baik secara spikologis dengan mengajukan pertanyaan yang tidak ada jawaban maupun ruang gerak telah dipersempit oleh bola-bola teror,dan bola-bola teror bergerak dan berinteraksi oleh anggota komunitas yang terganggu ruang geraknya dan menyingkirkan bola-bola teror sekenanya hingga pada akhirnya semua anggota berinteraksi dan menjadi lumrah,pada saat itu saya mencatat hampir semua pengunjung maupun pedagang bertanya-tanya dan was-was “apaan sih itu ?!,” Wah ntar kena dagangan gue Gimana?!”mata mereka membaca berita kematian kecelakaan dan lain-lain mereka saling mendorong bola-bola teror kesana kemari karena menggangu ruang gerak maupun pandangan dan barang dagang mereka maupun mereka yang mau tidak mau harus terlibat yang pada akhirnya mereka menjadi biasa dengan hal tersebut (karena manusia adalah mahluk yang mempunyai daya adaptasi yang cukup tinggi terhadap suatu konflik).
Tujuan sosial saya dari karya ini adalah untuk saling berdamai dengan teror karena teror itu tidak akan terjadi kalo kita selalu intropeksi diri dan tidak menghalalkan segala cara tetapi teror pun juga dibutuhkan untuk memacu daya juang kita sebagai manusia. Sedang tujuan estetik saya adalah menggabungkan beberapa element yaitu element ruang, waktu, bentuk, warna, gerak.semua element itu saling mendukung yaitu ketika element gerak tidak terjadi karena tidak ada yang mengusiknya pada saat sepi pengunjung tetap tidak kehilangan subtansinya yaitu teror/intimidasi baik secara bentuk maupun secara kosep.
Untuk karya kedua saya mengusulkan karya saya yang berjudul “Democrzy” karya ini yang pernah dipamerkan pada acara pameran patung Asosiasi pematung Indonesia di Galeri Nasional pada tahun 2001, konsep dari karya ini adalah keinginan untuk mengatakan begitu mudahnya manusia untuk menampilkan kegilaannya (kebruntalannya) hanya karena dia tidak suka kepada orang lain maupun tidak suka pada paham orang lain, seperti contohnya pada kerusuhan antara etnis madura dengan dayak di kalimantan kita tahu bahwa banyak korban yang disate atau ditusuk ditiang pancang dan dipertontonkan sebagai simbol superior etnis pemenang, begitu juga kita tahu legenda count dracula yang merupakan seorang baron di Rumania yang terkenal dengan kebiasaanya menyate korban-korbannya dihalaman rumahnya sembari bersantai minum teh, kengeriaan itu terus berlangsung sampai sekarang dalam hal ini saya menampilkan dengan pengolahan bentuk patung konfesional dan dalam mengeksplorasi kengerian saya tidak perlu harus memberi bentuk yang runcing dan tajam tetapi cukup dengan memakai element simbol warna dan simbol bentuk maupun ekspresi sedang judul sebagai element penguat maksud.
Begitulah pandangan saya pribadi tentang seni rupa,hkususnya tentang karya yang saya usulkan, dalam kaitannya dengan tema “interpelasi. Kiranya cukup sekian dan terimakasih.